Relokasi yang Terlupakan: Warga babakan baru cipaku bogor selatan Menanti Janji Sertifikat Selama 42 Tahun. Suara ketukan palu terdengar lirih dari rumah-rumah di RW 08 dan RW 14 Kelurahan Cipaku, Bogor Selatan. Di tengah sempitnya gang beton yang membelah kawasan Babakan Baru (BBR), para warga masih menganyam harap: agar tanah yang mereka pijak sejak 1982, tempat mereka dibuang dari bantaran Cibalok atas nama relokasi, akhirnya diakui secara hukum sebagai milik mereka.
Sudah lebih dari empat dekade mereka membangun hidup, dari nol. Tetapi satu lembar kertas yang menjamin kepemilikan—sertifikat hak milik atas kavling mereka—tak kunjung hadir.
“Dulu kami percaya. Kami pindah, ikut program relokasi. Kami tidak tahu kalau ternyata akan seperti ini,” kata salah satu warga, Forum Komunikasi Babakan Baru Bersatu (FKB3) yang tidak mau disebutkan namanya, kepada wartawan.
Kavling yang Menjadi Sewa
Masalah bermula dari surat kavling yang dikeluarkan pemerintah daerah pada 1982 dan 1985. Dalam surat itu disebutkan bahwa warga yang direlokasi akan menempati kavling di Babakan Baru. Salah satu poinnya menyebutkan bahwa setelah memenuhi persyaratan administrasi, mereka bisa mengajukan hak milik.
Namun, harapan itu menjadi kabur sejak pergantian pemerintahan dan panitia warga. Sekitar tahun 2011, status tanah diubah menjadi tanah sewa. Warga yang selama ini membangun rumah dengan uang sendiri, mulai menerima tagihan sewa dari pemerintah kota.
“Ini yang membuat kami sakit hati. Kami sudah tinggal 42 tahun, dan kami malah disuruh sewa lahan,” ujar warga RW 14, sambil menunjukkan surat tagihan retribusi dari tahun-tahun lalu.
Janji Sertifikat yang Mandek
Upaya legalisasi sempat dilakukan, terakhir pada periode 2019–2023. Namun, niat untuk mengembalikan status lahan dari tanah sewa menjadi tanah kavling kembali terbentur aturan. “Permendagri 19/2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah itu membuat semuanya macet. Tanah milik pemda tak bisa sembarang dilepas,” ujar seorang pejabat di Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kota Bogor yang meminta namanya tak dikutip.
Namun regulasi baru di tingkat nasional membuka peluang baru. Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tentang Reforma Agraria memungkinkan pembentukan gugus tugas penyelesaian tanah sengketa. Rekomendasi agar Pemkot Bogor membentuk gugus tugas ini telah disuarakan oleh DPRD Kota Bogor.
Suara dari Gedung Wakil Rakyat
Dedi Mulyono, Anggota Komisi 1 DPRD Kota Bogor, yang sejak awal mengikuti isu ini, menyebut bahwa persoalan BBR Cipaku adalah cermin kelambanan negara menghadirkan keadilan.
“Kita bicara tentang warga yang taat, mereka direlokasi demi program pemerintah, tapi 42 tahun kemudian mereka tidak juga mendapat hak atas tanahnya,” kata Dedi saat ditemui di ruang kerjanya.
Ia menegaskan bahwa Komisi 1 telah menyuarakan penyelesaian masalah ini sejak petisi warga diserahkan ke DPRD pada akhir 2024. “Kami sudah panggil pemkot, kami sudah rapat dengan BPN, dan kami menyarankan pembentukan gugus tugas reforma agraria. Ini harus jadi prioritas,” ujarnya.
Ketika ditanya apa posisi DPRD terhadap keinginan warga agar mendapatkan hak milik atas tanah mereka, Dedi menjawab tegas:
“Saya mendukung penuh. Kita harus cari jalan terbaik, tidak menabrak aturan, tidak menabrak hukum pengelolaan aset, dan tidak membuat preseden buruk. Tapi hak warga jangan dikorbankan. Negara punya tanggung jawab moral di sini.”
Ia juga menyoroti sikap Pemkot Bogor yang mulai berubah dengan menghentikan sementara penarikan sewa lahan per Mei 2025.
“Langkah ini bagus. Tapi jangan berhenti di sini. Jangan hanya berhenti pada simpati. Kita harus siapkan skema hukum dan administrasi yang konkret. Sertifikasi hak pakai? Bisa. Lelang terbatas untuk warga? Bisa. Yang penting jangan membiarkan mereka terus hidup dalam ketidakpastian,” katanya.
Baca juga : Smart One Day Service Diluncurkan, DPRD Apresiasi Terobosan Perizinan Cepat di Kota Bogor
Tekanan dari Pusat
Masalah ini juga sudah menyentuh gedung DPR RI. Komisi II DPR RI bahkan melakukan kunjungan khusus ke Balai Kota Bogor. Wakil Ketua Komisi II, Aria Bima, menyatakan bahwa Pemkot tidak boleh mengalihfungsikan lahan tersebut sebelum menyelesaikan statusnya. Ia bahkan mendorong agar status lahan bisa segera disertifikasi, apakah dalam bentuk Hak Milik atau Hak Pakai.
“Saya kira sinyal dari pusat sudah jelas. Tinggal keberanian dan kreativitas pemerintah daerah,” kata Dedi Mulyono menanggapi hal tersebut.
Mencari Jalan Keadilan
Warga kini menggantungkan harapan pada Gugus Tugas Reforma Agraria yang akan segera dibentuk. Mereka tak ingin hidup sebagai penyewa abadi di tanah yang mereka tempati sejak era Orde Baru.
“Setidaknya, jika memang harus bayar, kami siap mencicil. Tapi beri kami legalitas. Bukan terus-terusan disebut menumpang,” ujar warga RW 08.
Dedi Mulyono menutup wawancara kami dengan sebuah kalimat yang lebih menyerupai seruan:
“Jangan biarkan keadilan tertunda karena birokrasi. Bukan hanya rumah yang mereka bangun, tapi kehidupan. Maka negara wajib hadir menyelesaikannya.”
babakan baru cipaku bogor selatan